Jumat, 30 Desember 2016

SERTIFIKAT SEMINAR NASIONAL DAN BDAH BUKU

SERTIFIKAT SEMINAR NASIONAL DAN BEDAH BUKU
"STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGIK KRITIS PAULO FREIRE"

Rabu, 28 Desember 2016

Problematika Gender dalam Pendidikan

Problematika Gender dalam  Pendidikan
Rendahnya  kualitas  pendidikan  diakibatkan  oleh  adanya  diskriminasi  gender dalam  dunia  pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yaitu:
1.         Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.

2.         Partisipasi
aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
3.         Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan

Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan

Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan
Adanya globalisasi akan berpengaruh pada suatu bangsa dan negara, masyarakat bahkan individu dalam masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan globalisasi pada suatu bangsa terjadi di berbagai bidang, antara lain : bidang ekonomi, politik, bidang social budaya, bidang pertahanan dan keamanan, bidang agama, bidang pendidikan, dan sebagainya. Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan-hubungan bidang di atas yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu. Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal yang berkaitan dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, transportasi, dll.
Di bidang pendidikan, globalisasi memiliki dampak yang besar bagi perubahan pendidikan, baik secara sistem maupun kurikulum yang diajarkan. Menurut Edison A. Jamli dkk. (2005), globalisasi ditandai oleh ambivalensi yaitu tampak sebagai “berkah” di satu sisi tetapi sekaligus menjadi “kutukan” di sisi lain. Tampak sebagai “kegembiraan” pada satu pihak tetapi sekaligus menjadi “kepedihan” di pihak lainnya. Globalisasi pendidikan di Indonesia juga ditandai oleh ambivalensi yaitu berada pada kebingungan, karena ingin mengejar ketertinggalan untuk menyamai kualitas pendidikan Internasional, kenyataannya Indonesia belum siap untuk mencapai kualitas tersebut. Padahal kalau tidak ikut arus globalisasi ini Indonesia akan semakin tertinggal.
Namun, apa yang terjadi jika Indonesia tetap memaksakan dirinya untuk mengikuti arus globalisasi? Globalisasi pendidikan di Indonesia akan tambah tidak adanya kejelasan. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan arus globalisasi yang tidak diimbangi dengan keadaan mayarakat Indonesia yang sedang dilanda “krisis moral atau hilangnya identitas atau jati diri” manusia serta “krisis ekonomi” yang sampai sekarang tak kunjung-kunjung selesai. Sehingga pengaruh global dalam pendidikan tidak dapat diterima secara menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini ditandai dengan pendidikan yang selalu mengikuti arus globalisasi yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia setingkat dengan kualitas pendidikan Internasional, tetapi pada kenyataannya Indonesia belum siap untuk mengikuti arus tersebut sehingga kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal. Inilah yang sekarang menjadi problematika pendidikan di Indonesia.
Sebaiknya bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut? Haruslah pendidikan di Indonesia memilki pemimpin yang paham akan keadaan Indonesia di atas yaitu yang sedang di landa krisis moral atau hilangnya identitas atau jati diri manusia serta krisis ekonomi. Sehingga Indonesia tidak perlu lagi terlalu cepat untuk mengikuti arus global, tapi juga tidak terlalu lamban dalam proses meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas Pendidikan dapat dimulai dari pendidik yang harus memiliki sertifikat ke-profesional-an, peningkatan fasilitas sarana dan prasarana bagi sekolah-sekolah, dan birokrasi yang jujur dan adil serta didukung dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.

Relativisme dalam Pendidikan

Relativisme dalam Pendidikan
Relativisme ini merupakan hasil dari perjuangan kaum posmodernis yang berusaha membrontak tatanan yang sudah mapan.  Situasi di era posmodern digambarkan pada sebuah penolakan terhadap paradigma-paradigma besar, lama, kokoh, dan tak tersentuh. Posmodernisme acapkali menolak apapun yang selama ini tidak bisa ditolak sekalipun. Hasil dari ideologi besar ini adalah pendidikan yang mengacu pada konteks yang tumbuh disekitarnya. Contoh:
- sekolah komunitas. Pendidikan postmodern yang mengutamakan sistem sosial sebagai penyokong kehadiran sekolah. 
- kurikulum multikultural. Kurikulum ini mengacu pada ideologi tentang pentingnya toleransi, penghargaan terhadap yang lain, serta praktik-praktik sosial yang berdasarkan pada upaya membangun kemanusiaan melalui toleransi. 
Era posmodern itu juga tidak serta merta menjadikan masyarakat mengikuti segala nilai yang ada didalamnya. Adapun respons penting yang perlu diperhatikan. Respons itu sendiri sangat berpengaruh terhadap model pendidikan di dunia. Dua hal itu adalah sebagai bertikut:
  1. Fundamentalir religius. Fundamentalisme religius adalah perspektif yang melihat segala sesuatu berdasarkan perspektif agama. Kebenaran yang dipraktikkan oleh masyarakat haruslah mengacu pada fiqih yang termaktub di dalam kitab suci. Contoh komunitas religius yang menolak adanya "ilmu dunia"
  2. Fundamentalisme rasional. Ini berarti bahwa segala sesuatu dipandang sebagai buah dari rasionalitas. Tatanan sosial haruslah mengacu pada logika yang dipahami oleh masyarakat an bisa diawasi berdasarkan logika yang berbasis kompetensi adalah realisasi dan fundamentalisme rasional. Bahwa segala-galanya harus ddiukur dari kemampuan mempraktikkan kognitif dalam bentuk keterampilan-keterampilan yang bisa diukur. Contoh: sekolah yang mendasarkan diri sebagai Sekolah Bertaraf Internasional.

filsafat pendidikan islam


Filsafat Pendidikan Islam
A. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat secara harfiah berasal kata Philo berarti cinta, Sophos berarti ilmu atau hikmah, jadi filsafat secara istilah berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Pengertian dari teori lain menyatakan kata Arab falsafah dari bahasa Yunani, philosophia: philos berarti cinta (loving), Sophia berarti pengetahuan atau hikmah (wisdom), jadi Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Pelaku filsafat berarti filosof, berarti: a lover of wisdom. Orang berfilsafat dapat dikatakan sebagai pelaku aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Ariestoteles (filosof Yunani kuno) mengatakan filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Adapun pengertian filsafat mengalami perkembangan sesuai era yang berkembang pula. Pada abad modern (Herbert) filsafat berarti suatu pekerjaan yang timbul dari pemikiran. Terbagi atas 3 bagian: logika, metafisika dan estetika (termasuk di dalamnya etika).

Pendidikan secara harfiah berasal kata didik, yang mendapat awalan pen akhiran an. berarti perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik. Kata lain ditemukan peng(ajar)an berarti cara (perbuatan dan sebagainya) mengajar atau mengejarkan. Kata lain yang serumpun adalah mengajar berarti memberi pengetahuan atau pelajaran. Kata pendidikan berarti education (inggris), kata pengajaran berarti teaching (inggris). Pengertian dalam bahasa Arab kata pendidikan (Tarbiyah) – pengajaran (Ta’lim) yang berasal dari ‘allama dan rabba. Dalam hal ini kata tarbiyyah lebih luas konotasinya yang berarti memelihara, membesarkan, medidik sekaligus bermakna mengajar (‘allama). Terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti susunan.

Dari segi bahasa Arab kata Islam dari salima (kemudian menjadi aslama), kata Islam berasal dari isim masdar (infinitif) yang berarti berserah diri, selamat sentosa atau memelihara diri dalam keadaan selamat. Yakni dengan sikap seseorang untuk taat, patuh, tunduk dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah SWT; sebagaimana seseorang bias disebut Muslim. Selanjutnya Allah SWT memakai kata Islam sebagai nama salah satu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan-Nya kepada manusia melalui Muhammad SAW (sebagai Rasul-Nya). Sebagai agama Islam diakui memiliki ajaran yang komprehensif (al-Qur’an) dibandingkan dengan agama-agama lain yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.

Setelah dijelaskan satu persatu yang tersebut di atas, diyakini belum dijelaskan secara lebih khusus mengenai apa itu filsafat pendidikan Islam?

Pendapat para ahli yang mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin mengatakan pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumberkan atau berlandaskan pada ajaran-ajaran agama Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia (Muslim) yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Secara sistematikanya menyangkut subyek-obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya. Mengenai dasar-dasar filsafat yang meliputi pemikiran radikal dan universal menurut Ahmad D Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Adapun komentar mengenai radikal dan universal bukan berarti tanpa batas, tidak ada di dunia ini yang disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan sesuatu itu tanpa batas, kita telah membatasi sesuatu itu. Dalam artian, apabila seorang Islam yang telah meyakini isi keimanannya, akan mengetahui di mana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan.

Filsafat Hukum


Filsafat Hukum Dalam Kaitan Dengan Hakekat Hukum

Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakekat hukum atau keberadaan hukum. Hakekat hukum meliputi :

1. Hukum merupakan perintah (teori imperatif)

Teori imperatif artinya mencari hakekat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta adalah sebagai perintah Tuhan dan Perintah penguasa yang berdaulat

Aliran hukum alam dengan tokohnya Thomas Aquinas dikenal pendapatnya membagi hukum (lex) dalam urutan mulai yang teratas, yaitu :

Lex aeterna (Rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh manusia, yang disamakan hukum abadi)
Lex divina (Rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia)
Lex naturalis (Penjelmaan dari Lex aeterna dan Lex divina)
Lex positive (hukum yang berlaku     merupakan tetesan dari Lex divina        kitab suci
Aliran positivisme hukum     Jhon Austin beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law (undang-undang) dan morality (hukum kebiasan).

2. Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)

Mahzab sejarah : Carl von savigny beranggapan bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.

Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis malupun tidak tertulis”.

Hukum tertulis atau hukum positif
Hukum posistif  atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu.

Contoh : UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Hukum tidak tertulis
–   Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait

–   Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat

–   Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

–   Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka

–   Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law)

3. Tujuan hukum (teori optatiif)

Keadilan
Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :

–   Distributive, yang didasarkan pada prestasi

–   Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa

–   Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya

–   Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif

–   Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang

Kepastian
Hans kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :

–   Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.

–   Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.

–   Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.

–   Hukum itu bersifat dogmatic.

MASYARAKAT DESA

PENGERTIAN MASYARAKAT
Masyarakat juga sering dikenal dengan istilah society yang berarti sekumpulan orang yang membentuk sistem, yang terjadi komunikasi didalam kelompok tersebut.
PENGERTIAN DESA
Desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung 
PENGERTIAN MASYARAKAT DESA
Berdasarkan pengertian di atas bisa di simpulkan bahwa masyarakat desa adalah sekumpulan orang yang membentuk sistem dan saling berkomunikasi yang tinggal di pembagian wilayah administratif di Indonesia atau tinggal di kampung yang dipimpin oleh Kepala Desa.
Seorang ahli sosiologi yang bernama Talcott Persons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Afektivitas, yaitu merupakan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan, yang ditunjukkan dalam sikap kehidupan sehari-hari yang saling tolong menolong, perasaan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain, menolong orang lain tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif, sifat ini mewujudkan konsekuensi dari sifat efektivitas, yaitu meningkatkan kebersamaan tidak suka memanjakan diri, tidak suka berbeda pendapat dengan sesama warga desa.
c. Partikularisme, yaitu semua hal yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk tempat atau daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan.
d. Kekaburan, yaitu sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit (penggunaan bahasa yang tidak langsung).
e. Askripsi, yaitu berhubungan dengan berdasarkan usaha yang disengaja (direncanakan), tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan. Dari sifat ini masyarakat desa sukar berubah sesuatu diterima sebagaimana adanya dan berkembang secara tradisionalisme dan konservalisme.
Ciri-Ciri/Karakteristik Masyarakat Desa
1. Jumlah penduduk tidak terlalu padat dan bersifat homogen
2. Kontrol sosial masih tinggi
3. Sifat gotong royong masih kuat
4. Sifat kekeluargaannya masih ada.

PERKEMBANGAN IPS DI INDONESIA

IPS sebagai sebuah bidang keilmuan yang dinamis, karena mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat perkembangannya, tidak lepas dari perkembangan. Pengembangan kurikulum IPS merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan mempelajarinya. Perkembangan IPS di indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut :
1.      Pengalaman hidup masa lampau dengan situasi sosialnya yang labil memerlukan masa depan yang lebih mantap dan utuh sebagai suatu bangsa yang bulat.
2.      Laju perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya indonesia memerlukan kebijakan pendidikan pengajaran yang seirama dengan laju perkembangan tersebut.
3.      Agar output pendidikan persekolahan benar-benar lebih relevan dengan tuntutan masyarakat yang ia akan menjadi bagiannya dan materi yang dimuat dalam kurikulum atau dipelajari peserta didik dapat bermanfaat.
Segi lain yang menyebabkan dikembangkannya kurikulum IPS sebgai mata pelajaran wajib bagi setiap anak didik adalah menyiapkan mereka kelak apabila terjun ke dalam kehidupan masyarakat.
Sejak diberlakukannya kurikulum tahun 1964 sampai kurikulum 1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial masih menggunakan cara-cara (pendekatan) tradisional. Ilmu sosial seperti sejarah, geografi, (ilmu bumi) dan ekonomi masih disajikan secara terpisah. Sejumlah ahli menyadari bahwa sebenarnya sistem tersebut telah using dan tidak relevan.
Terkait dengan pengembangan kurikulum IPS, seorang ahli pendidikan, guru besar pada IKIP malang, Prof. Dr. Soepartinah Pakasi, dapat dianggap sebagai penganut sosial studies yang pertama di indonesia. Pada tahun 1968 beliau menerapkan pola pengajaran sosial studies pada sekolah percobaan IKIP malang yang dipimpinnya.
Dalam penerapannya, guru-guru sosial studies di sekolah-sekolah tersebut di samping diberi pedoman pelatihan keterampilan secara khusus juga didampingi oleh sebuah regu dosen jurusan sejarah, geografi dan ekonomi. Dalam lingkup nasional ide-ide untuk menerapkan pengajaran sosial studies mulai ramai diperbincangkan sekitar tahun 1971/1972. Untuk menyongsong dilaksanakannya pengajaran sosial seperti “seminar sejarah” di Yogyakarta pada tahun 1971, “seminar geografi” di semarang pada tahun 1972, dan “seminar kependudukan” di bandung pada tahun 1973.
Pada tahun 1972, oleh Badan Penelitian Pendidikan (sekarang menjadi Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan = BP3K), di Jakarta diselenggarakan pertemuan para ahli pendidikan berbagai disiplin ilmu dari IKIP dan lembaga-lembaga lain untuk membahas masalah rencana pembaharuan kurikulum sekolah di indonesia. pertemuan tersebut menyepakati penerapan prinsip kerja kurikulum Broadfield untuk mata pelajaran ilmu-ilmu sosial, yaitu sistem kurikulum yang mengelompokkan mata pelajaran sejenis yang menjadu satu bidang studi. Disepakati pula untuk mata pelajaran kemasyarakatan (ilmu sosial) seperti sejarah, geografi, ekonomi dan lain-lain dikelompokkan dalam satu bidang studi dengan nama ilmu pengetahuan sosial (IPS).
Pemaduan ilmu-ilmu sosial menjadi satu bidang studi IPS diterapkan pada kurikulum 1974 untuk 8 buah proyek perintis sekolah pembangunan (PPSP). Setahun kemudian nama bidang studi IPS Resmi memperoleh status formal melalui pembakuan kurikulum 1975 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.

KOTA DAN MASYARAKAT INDUSTRI

KOTA DAN MASYARAKAT INDUSTRI
A.  PENGANTAR

“Industrialisasi adalah jalan keluar dari kemiskinan yang bersumber dari kebergantungan pada sector agraris” (Sumitro Djojohadikusumo).
Industrialisasi dianggap sebagai kunci kearah kemakmuran yang didambakan setiap bangsa. Salah satunya adalah untuk mengentaskan kemiskinan. Industri merupakan salah satu pembangunan yang mengarah pada proses perubahan perekonomian dari yang sebagian besar berupa pedesaan dan pertanian menjadi perkotaan, industry, dan jasa-jasa dalam kompetisinya. Sekalipun demikian, industry bukanlah tujuan akhir dari pembangunan ekonomi, melainkan hanya menjadi salah satu strategi dalam mendukung proses pembangunan ekonomi untuk mencapai tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan. Menurut kuntowijoyo(1991:2) mengatakan bahwa industry merupakan salah satu variable pendorong perubahan sosial yang dominan dalam abad-abad terakhir sehingga kehadiran industry akan memunculkan masyarakat industry(kota) yang berbeda dengan masyarakat agraris(desa). Oleh karena itu, hal yang tidak dapat dihindari dari adanya industrialisasi adalah terjadinya urbanisasi.  
B.  INDUSTRIALISASI : PROSES MENJADI MASYARAKAT INDUSTRI

Proses industrialisasi yang sebagian besar berlangsung di perkotaan mengakibatkan kota kebanjiran imigran dari desa-desa dengan segala aspeknya. Dalam konteks industrialisasi, hubungan desa-kota bukan lagi hubungan administratif an sich, melainkan sebagai transformasi budaya dan sosial. Menurut Gulick (1969:150) terdapat pola budaya yang terkandung dalam hubungan transfirmasi yaitu :
1.      Secara teratur kembali ke desa asal untuk menikah, pemakaman dan upacara-upacara lainnya
2.      pertukaran pemberian secara teratur ( seperti produk desa) dan kunjungan
3.      Perubahan tempat tinggal secara musiman
4.      Pulang pergi ke tempat ringgal secara berkala
Pada umumnya, kota-kota di Negara berkembang cenderung didikotnomikan menjadi dua kawasan yang berbeda, yaitu :
1.      Kawasan tipe barat
2.      Kawasan tipe pribumi yang terdiri atas pengelompokkan desa-desa.
Kemudian ciri penduduk kota diidentikan dengan dikotomi “kota-desa” atau kategori “ komunitas-masyarakat”

C.  PENGERTIAN INDUSTRI DAN INDUSTRIALISASI

Dumairy (1996:207) menjelaskan bahwa industry mempunyai dua pegertian, yaitu :
1.    Himpunan perusahaan sejenis, contoh industry kertas berarti himpunan perusahaan penghasil kertas
2.    Sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah barang mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi
Ada dua pertimbangan penting yang melandasi indonesia menggunakan strategi industrialisasi, yaitu :
1.      Pada saat itu, Negara-negara di seluruh dunia juga mengerjakan proyek industrialisasi dengan dukungan teori pembangunan ekonomi yang memadai.
2.      Sejarah Negara yang telah berhasil memajukan ekonominya selalu melewati tahapan industrialisasi pada proses pembangunannya.
Industrialisasi yang dilaksanakan di indonesia harus melibatkan sector pertanian dalam prosesnya.

D.  KONSEP INDUSTRIALISASI

Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep industrialisasi seperti Pertama, transformasi structural diharuskan karena sector primer dipandang tidak memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi serta nilai tukar ( term of trade) yang rendah. Kedua, model neoklasik (W. Arthur lewis dan Hollis chenery ) lebih menekankan perhatian pada mekanisme yang memungkinkan perekonomian Negara terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari sesuatu yang berat ke pertanian tradisional untuk mencukupi kebutuhan sendiri, pada sesuatu perekonomian yang lebih modern. Ketiga, transformasi ekonomi hendaknya dipahami dan diinterpretasikan bukan hanya dalam konteks pergeseran structural dari sector pertanian pada sector manufaktur kemudian sector jasa. Tahap-tahap transformasi hendak lah dipahami dalam pergeseran proses dinamika yang terjadi dalam sector pertanian dan sector-sektor pendukungnya. Berdasarkan pandangan tersebut apabila melihat kasus di indonesia lebih cocok dan memadai pada pandangan terakhir mengingat karakteristik potensi sector basis yang  dimiliki yaitu, sektor pertanian. Jika model industrialisasi ini yang di tempuh , dua hal penting segera akan dicapai; pada satu sisi akan diperleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai dan pada sisi lainnya jumlah tenaga kerja yang dapat terlibat dalam proses industrialisasi sangat banyak.

E.   INDUSTRIALISASI DI INDONESIA

Menurut department perindustrian, industry nasional indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar berikut :
1.      Industri dasar yang mliputi kelompok industri mesin dan logam dasar (IMLD) dan kelompok kimia dasar (IKD)
2.      Industri kecil yang meliputi industri pangan, industry sandang dan kulit, industri kimia dan bahan bangunan, industri galian bukan logam dan industri logam.
3.      Industri hilir, yaitu kelompok aneka industri (AI) meliputi industry yang mengolah sumber daya hutan, industry yang mengolah hasil pertambangan, industry yang mengolah sumber daya pertanian secara luas, dan lain-lain.
Adapun Biro Pusat Statistik (BPS), berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, industri dibedakan menjadi empat, yaitu :
a.       Perusahaan/ industry besar jika mempekerjakan 100 orang atau lebih 
b.      Perusahaan/ industri sedang jika mempekerjakan 20-99 orang
c.       Perusahaan/ industry keci jika mempekerjakan 5-19 orang
d.      Industry kerajinan rumah angga jika mempekerjakan kurang dari 3orang (termasuk tenaga kerja yang tidak dibayar)
F.   STRUKTUR EKONOMI DI INDONESIA

Istilah struktur digunakan untuk menunjukkan susunan atau komposisi dari sesuatu. Sektor ekonomi yang dominan atau yang diandalkan adalah sektor ekonomi yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk serta menjadi penyerap tenaga kerja yang terbesar. Ada dua macam struktur ekonomi, yaitu :
1.      Struktur agraris, yaitu struktur ekonomi didominasi oleh sektor pertanian
2.      Industri, yaitu struktur ekonomi didominasi oleh sektor industry
G.  PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS (DESA) KE INDUSTRI (KOTA)

Perubahan masyarakat tradisional (agraris) ke masyarakat industri (modern) akibat derasnya proses modernisasi dengan berbagai nilai dan teknologi yang ditawarkan. Bahkan modernisasi dianggap sebagai proses transformasi nilai.
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat pasca-industrialisasi yang  berdampak positif seperti perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat pedesaan yang terkait dengan perubahan pola mata pencaharian (kesempatan kerja dan kesempatan berusaha). Adapun yang berdampak negative seperti adanya pencemaran lingkungan (terutama air limbah yang mengaliri lahan pertanian sehingga hasil pertanian menjadi kurang baik), meningkatknya kecemburuan sosial (masyarakat desa yang semula hidup apa adanya, kemudian berbuah memiliki penghasilan yang akhirnya menimbulkan persaingan), munculnya kesenjangan masyarakat desa-kota (khususnya persaingan meraih kesempatan kerja dan pendapatan karena perbedaan produktivitas pertanian dan nonpertanian akibat terbatasnya lahan usaha tani, tingkat pendidikan dan keterampilan).

       Pengaruh masuknya industri ke kawasan agraris (desa) telah menjadikan masyrakat tradisional, desa, dan agraris secara alami berubah menjadi masyarakat modern, kota, kelurahan, dan industri. Disamping perubahan seperti halnya diatas, perubahan juga terjadi pada pola perilaku ekonomi, pola pikir serta gaya hidup masyarakat. kemudian pola pikir masyarakat lebih maju bahwa memasuki dunia pekerjaan diperhitngkan status pendidikan. Dan yang terakhir perubahan dalam pergaulan serta komunikasi yang sudah banyak berubah.

TEORI MAX WEBER

Biografi Max Weber
     Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, pada tanggal 21 April 1864, dari keluarga kelas menengah. Perbedaan antara orang tuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologinya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relative penting. Ia jelas merupakan bagian dari kemapanan politik dan akibatnya ia abstain dari aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau mengancam posisinya dari dalam system. Selain itu, weber senior adalah seseorang yang menikmati dunia, dan dalam banyak hal ia sangat berlawanan dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religious, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perhatiannya lebih kearah dunia lain, ia terusik oleh ketidaksempurnaan yang merupakan tanda bahwa ia tidak ditakdirkan untuk mendapatkan keselamatan. Perbedaan tajam antara kedua orang tuanya menyebabkan ketegangan rumah tangga, dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi Weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orang tuanya, sebagai seorang anak Weber dihadapkan pada pilihan sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada pola kehidupan ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang ditimbulkan oleh kebutuhan untuk memilih dua kutub tersebut membawa pengaruh negative terhadap psikis Max Weber.
    Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukkan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat social ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun hal tersebut cepat berubah setelah ia tertarik pada cara hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan yang penuh persaingan, tempat ayahnya dulu juga pernah terlibat. Di sana ia berkembang secara social, paling tidak sebagian, karena banyaknya bir yang ia konsumsi bersama dengan rekan-rekannya. Selain itu, dengan bangga ia menampilkan bekas luka akibat perkelahian yang merupakan tanda dari organisasi tersebut. Weber tidak hanya mewujudkan identitasnya dengan cara hidup ayahnya dengan cara seperti ini, namun juga memilih, paling tidak pada saat itu, karier ayahnya-hukum. Setelah tiga tahun, Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan ke rumah orang tuanya untuk megambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap di sana selama hampir delapan tahun kemudian ketika ia menyelesaikan studinya, meraih gelar doctor, menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses ini, minatnya lebih banyak beralih ke persoalan-persoalan sepanjang masa-ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Selama delapan tahun di Berlin, secara financial Weber tergantung pada ayahnya, satu situasi yang semakin tidak ia sukai. Pada saat yang sama, ia semakin mendekati nilai-nilai ibunya, dan antipati terhadap ayahnya meningkat. Ia menjalani kehidupan asketis dan tenggelam dalam kerjanya. Mengikuti ibunya, Weber menjadi seorang asketis dan rajin, seorang pekerja giat (gila kerja). Pada tahun 1896 giatnya dala bekerja ini membawanya pada posisi seorang professor ekonomi di Heidelberg, namun pada tahun 1897 ketika karier akademik berkembang ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dengannya. Tidak lama setelah itu Weber mulai menunjukkan gejala yang membawanya pada keruntuhan mental. Sering kali tidak dapat tidur atau bekerja, Weber menghasilkan enam atau tujuh tahun kemudian dalam kondisi yang hampir mati suri. Setelah lama berselang tenaganya pulih kembali pada tahun 1903, namun tidak sampai 1904, ketika ia menyampaikan kuliah perdananya di Amerika Serikat dalam kurun waktu enam setengah tahun, Weber mampu kembali aktif dalam kehidupan akademi. Pada tahun1904 dan 1905, ia menerbitkan karya terkenalnya, The Protestant Ethnic and The Spirit of Capitalism. Dalam karya ini, Weber menyatakan kesalihan sang ibu yang diwarisinya pada level akademi. Weber banyak menghabiskan waktu untuk mempelajari agama kendati secara pribadi ia tidak reigius.
Meskipun ia dihinggapi masalah psikologis, setelah tahun 1904 Weber mampu bekerja kembali, menghasilkan karya pentignya. Pada tahun-tahun itu, Weber menerbitkan studinya tentang agama-agama dunia dalam perspektif sejarah dunia. Ketika ia meninggal (14 Juni 1920) ia tengah mengerjakan karya terpentingnya, Economy and Society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, buku ini tidak selesai. Selain menghasilkan banyak tulisan ketika itu Weber melakukan sejumlah aktifitas lain. Ia membantu mendirikan masyarakat Sosiologi Jerman pada tahun 1910. Rumahnya menjadi pusat bagi banyak intelektual, termasuk sosiolog seperti Georg Simmel, Robert Michels dan saudaranya Alfred Weber, maupun filsuf kritik sastra Georg Lukacs. Selain itu ia aktif secara politik dan menulis banyak esai tentang sejumlah isu pada masanya. Dalam kehidupan Weber, dan lebih penting lagi, dalam karya-karyanya, terdapat ketegangan antara pikiran birokratis, sebagaimana ditampilkan oleh sang ayah, dengan religiusitas ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu merasuk ke dalam karya Weber dan dalam kehidupan pribadinya.
B. Warisan Idealisme Historisisme Jerman dan Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
1) Warisan Idealisme Historisisme Jerman
Konsep Sosiologi Weber, sebagaimana yang telah kita ketahui, dipandang sebagai suatu upaya yang menengahi antara dua cara pandang yang bertentangan yang terjadi di jerman pada masanya. Posisi pertama, adalah mereka yang di ilhami oleh keberhasilan ilmu alam, yang meyakini bahwa metode mereka akan mampu memacu perkembangan studi manusia dan masyarakat. Sebaliknya pandangan yang kedua, menekankan bahwa sesuatu yang penting dalam manusia (spirit, pikiran, budaya dan sejarahnya) tidak akan mampu di pahami melalui teknik-teknik ilmu alam, karenanya pandangan yang pertama itu sifatnya superficial (hal-hal yang ada di permukaan) dan hanya menyangkut aspek-aspek manusia yang eksternal saja.
Psikologisme, positivisme dan behaviorisme merupakan prinsip-prinsip manifestasi dari pijakan pandangan pertama, yang bertentangan dengan Husserl dan Scheler sebagaimana yang telah kita lihat, telah mengembangkan perspektif pendekatan fenomenologi. Sedangkan weltanschuungsphilosophi dan historisme merupakan contoh dari pijakan yang kedua. Pemikiran ini menekankan bahwa keunikan spirit manusia membutuhkan beberapa metode yang khusus sehingga seseorang mampu memahinya secara autentik. Hanya dengan intuisi yang simpatik dan pemfokusan terhadap makna itulan yang akan mampu menghasilkan suatu pemahaman budaya dan sejarah secara memadai. Menurut Weber, dalam memahami sosio budaya maka di perlukan beberapa metode khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan manusia. Dengan pengertian semacam ini, maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang meilbatkan dirinya dengan penafsiran dan pemahan tindakan manusia secara sensitif. Penjelasan sosiologi haruslah memadai dalam tahapan makna. Tetapi ini bukan berarti bahwa Weber menyatakan bahwa sosiologi harus menghilangkan hubungan-hubungan kausal dalam berbagai fenomena sosial. Weber menunujukkan bahwa keterlibatan dengan kausal (hukum sebab akibat) dan generalisasi merupakan suatu hal yang umum dalam semua ilmu, maka demikian pula hal ini harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, Weber mencoba memperbarui apa yang dianggap penting oleh kedua pijakan yang bertentangan tersebut. Dengan adanya kondisi manusia semacam itu, maka tidak ada ilmu yang akan dapat memahami secara benar jika menghilangkan makna dan kesulitan itu. Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subjektif manusia yang diatributkan pada tindakkan-tindakkannya dan sebab-sebab objektif serta konsekuensi dari tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut “ suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subjektif yang juga meliputi tindakan yang lainnya” dan diorientasikan dalam bentuk tindakan sosial. Secara ideal sosiologi haruslah menyediakan suatu penjelasan yang memadai pada dua tingkatan : pada tingkatan arti dan tindakan kausalitas. Istilah yang subjektif sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu hal yang objektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheller, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasan tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk pada makna dari actor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana ini mengartikan bahwa seseorang haruslah berusaha keras untuk memahaminya.
Weber muda adalah seorang peneliti aktif mengenai kebijakan sosial dan kondisi kaum buruh, Weber yang lebih akhir melakukan riset mengenai psikofisika dalam kerja industrial, serta merupakan partisipan dalam negosiasi perdamaian Versailles dan contributor untuk konstitusi Weimar. Simpati Max Weber konon lebih dekat kepada Partai Sosial Demokrat Jerman dari pada apa yang diakuinya, setidaknya tertuju pada aliran reformasinya. 
2) Sosiologis Interpretatif (Verstehen)
Teori sosiologi interpretatif berpandangan bahwa dunia sosial berbeda dengan dunia alam harus dimengerti sebagai suatu penyelesaian secara terlatih dari manusia sebagai subyek yang aktif dan pembentukan dunia ini sebagai sesuatu yang mempunyai makna, dapat diperhitungkan atau dimengerti dengan jelas. Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretative dimaksudkan agar dalam menganalisis dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja, melainkan dibutuhkan interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat tidak keliru. Weber merasa bahwa sosiolog memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom dan ikatan kimia.
Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen. Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita pun akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika( Martin, 2000;Pressler dan Dasilva, 1996). Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan “intuisi”, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehenhanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial. Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransfermasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang lainnya atau kehidupan non hayati. Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Refleksi metodologis Weber jelas berhutang pada filsafat pencerahan. Titik tolak dan unik analisis paling utamanya adalah sosok individual. Sosiologi interpretative memandang individu dan tindakannya sebagai satuan dasar, sebagai “atomnya” sekiranya perbandingan yang diperdebatkan bisa diterima. Dalam pendekatan ini individu juga dipandang sebagai batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna. Weber memilah berbagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sikap kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang paling bisa dipahami, dan perbuatan “manusia ekonomis” adalah contoh utamanya. Tindakan-tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber digolongkan, kaitannya dengan pencarian tujuan-tujuan absolute, sebagai berasa dari sentiment berpengaruh dalam (affectual sentiments)atau sebagai “tradisional”. Karena tujuan absolut dipandang oleh sosiolog sebagai data yang “terberi” (given) maka sebuah tindakan bisa menjadi rasional dengan mengacu pada sarana yang digunakan, tetapi irasional jika dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tindakan “afektual” , yang murni berasal dari sentiment, adalah tipe perbuatan yang kurang rasional. Dan akhirnya, mendekati level “instinctual” adalah perbuatan “tradisional” : tidak reflektif dan bersifat kebiasaan, tipe ini dikeramatkan karena “selalu dilakukan” dank arena itu dipandang tepat. Tipe-tipe tindakan ini dibentuk secara operasional kaitannya dengan sebuah skala rasionalitas.
Tipe-tipe ideal 
Tipe ideal adalah salah satu sumbangan terpenting Weber terhadap sosiologi kontemporer. Seperti telah kia ketahui, Weber percaya bahwa tanggung jawab sosiolog adalah mengembangkan seperangkat konseptual, yang kemudian dapat digunakan oleh sejarawan dan sosiolog. Perangkat konseptual terpenting tersebut adalah tipe ideal. Kendati memiliki definisi seperti ini, weber tidak sepenuhnya konsisten dengan caranya menggunakan tipe ideal. Untuk Memahami maksud awal konsep tersebut, kita harus memperhatikan beberapa ketidakkonsistenan ini. Pada level paling dasar, tipe ideal adalah konsep yang dikonstruksikan oleh ilmuwan sosial, menurut minat dan orientasinya, dalam rangka memahami ciri utama fenomena sosial.
Yang penting dicatat adalah bahwa tipe-tipe ideal merupakan perangkat heuristic, mereka berguna dan membantu dalam melakukan penelitian empiris dan dalam memahami aspek tertentu dari dunia sosial. Seperti dikatakan Lachman, “pada dasarnya tipe ideal adalah tolak ukur” atau menurut Kalberg, “standart pembanding”. Inilah yang dikatakan Weber: “fungsinya adalah alat pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidaksesuaian atau kemiripan, untuk menggambarkannya dengan konsep yang paling dapat dipahami secara tepat, dan untuk mendapatkan dan menjelaskannya secara kausal “tipe-tipe ideal adalah perangkat heuristic yang digunakan dalam irisan realitas sejarah. Sebagai contoh, ilmuan sosial akan mengkontruksi tipe ideal birokrasi berdasarkan atas keterlibatan mereka dengan data sejarah. Tipe ideal ini kemudian dapat dibandingkan dengan birokrasi actual. Peneliti mencari ketidaksesuaian pada kasus riel dari tipe ideal rata-rata. Selanjutnya, ilmuan sosial harus mencari sebab-sebab ketidaksesuaian dan penyimpangan ini. Beberapa alas an tipikal bagi ketidaksesuaian ini adalah:
1. Tindakan birokrat yang didasarkan pada informasi yang keliru.
2. Kesalahan strategi, terutama yang dilakukan oleh para pimpinan birokrasi.
3. Kesalahan logika yang menopang tindakan pemimpin dan pengikut.
4. Keputusan birokratis yang didasarkan pada perasaan.
5. Segala irasionalitas dalam tindakan pimpinan dan pengikut birokrasi.
Contoh yang lain adalah tipe ideal pertempuran militer. Tipe ideal ini menentukan komponen-komponen utama pertempuran tersebut. Pertempuran actual mungkin tidak memiliki seluruh elemen ini, dan inilah satu hal yang ingin diketahui peneliti. Point dasarnya adalah bahwa element-element dari pertempuran militer dapat dibandingkan dengan element-element yang identik dengan tipe ideal.
Element-element tipe ideal (misalnya, component-komponent pertempuran militer yang ideal-tipikal) tidak boleh disatukan begitu saja: mereka dikombinasikan menurut kontabilitasnya. Sebagaimana seperti yang dikemukakan Hekman, “tipe-tipe ideal bukanlah produk dari dorongan sesaat atau khayalan ilmuan sosial, namun merupakan konsep yang dikonstruksi secara logis”.
Menurut pandangan Weber, tipe ideal secara induktif berasal dari dunia riel sejarah sosial. Weber tidak percaya bahwa dengan hanya menawarkan serangkaian konsep yang didefinisikan secara seksama sudah memadai, khususnya jika konsep-konsep tersebut secara deduktif diturunkan dari teori abstrak. Jadi, untuk menghasilkan tipe-tipe ideal, mula-mula meneliti harus melibatkan dirinya dengan realitas sejarah dan selanjutnya menurunkan tipe-tipe itu dari realitas tersebut. Sejalan dengan upaya Weber untuk menemukan titik tengah antara pengetahuan nomotetis dengan pengetahuan ideografis, ia berpendapat bahwa tipe-tipe ideal tidak boleh terlalu umum atau terlalu spesifik.
Meskipun tipe-tipe ideal harus berasal dari dunia riel, mereka tidak dapat menjadi cerminan citra dunia tersebut. Mereka adalah penekanan satu sisi terhadap esensi hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Menurut pandangan Weber, semakin suatu tipe ideal diberi penekanan, semakin berguna ia bagi penelitian sejarah. Pengguanaan kata ideal atau utopia tidak boleh diartikan bahwa konsep yang digambarkan tersebut dari sudut pandang manapun adalah yang terbaik diantara yang mungkin. Seperti digunakan oleh Weber, istilah ini berarti bahwa bentuk yang digambarkan dalam konsep tersebut jarang, jika pernah, ditemukan di dunia nyata. Sebaliknya, Weber berargumen bahwa tipe ideal tidak harus positif atau benar, bisa saja sama sekali tidak dapat diterima secara moral atau bersikap negative.
Tipe-tipe ideal harus masuk akal di dalam dirinya sendiri, makna komponen-komponen harus kompatibel, dan semua itu harus membantu kita memahami dunia riel. Meskipun kita harus menganggap bahwa tipe-tipe ideal menggambarkan entitasyang statis, Weber percaya bahwa tipe-tipe tersebut dapat menjelaskan entitas statis atau dinamis. Selanjutnya kita memiliki tipe struktur ideal seperti, birokrasi, atau perkembangan sosial seperti birokratisasi.
3).Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber, jika kita menerima kata-katanya ini sebagai mana adanya, didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan sosial. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatisyang tidak melibatkan proses pemikiran. Stimulus datang dan perilaku terjadi, dengan sedikit saja jeda antara stimulus dengan respons. Perilaku semacam ini tidak menjadi minat sosiologi Weber. Ia memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran. Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seseorang atau beberapa orang manusia.
Dari uraian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang memusatkan perhatiannya pada pemahaman interpretative atas tindakan sosial dan pada penjelasan kausal atas proses dan konsekuensi tindakan tersebut.

Peran sosiologi pendidikan

Beberapa peran sosiologi pendidikan :
1. Sosiologi pendidikan berfungsi  menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatikan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
2. Sosiologi pendidikan berfungsi menganalisis perkembangan dan kemajuan sosial.
dalam hal ini sosiologi melihat bahwa semakin berkembangnya zaman pemikiran manusiapun akan berkembang ke arah yang lebih maju sehingga akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan sosial. contohnya, adanya spesialisasi pekerjaan sehingga sekarang ini masyarakat dituntut untuk memiliki gelar agar dapat memiliki pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan pekerjaan tersebut.
3. Sosiologi pendidikan berfungsi menganalisis status pendidikan dalam masyarakat.
Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalam masyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
4. Sosiologi pendidikan berfungsi menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social.
Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuran tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup sosial.
5. Sosiologi pendidikan berfungsi membantu menentukan tujuan pendidikan.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa fungsi  pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut.
6. Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan berfungsi  utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.
Dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan. Dari analisis inilah , sebuah pendidikan bisa lebih tepat sasaran karena berasal dari pembacaan yang tepat tentang kondisi seluruh aspek yang berhubungan dengannya.

Fungsi sosial kesenian


        Ungkapan-unkapan seni, baik yang “ seni adiluhung” maupun yang “hiburan”, di samping nilai estetik atau nilai hiburannya, tentulah mempunyai juga fungsi-fungsi sosialnya. Hal ini dapat merupakan kajian tersendiri. Pertanyaan yang dapat diajukan antara lain: kebutuhan-kebutuhan sosial apakah yang dipenuhi dengan pembuatan atau penyajian karya-karya seni tertentu; kegiatan-kegiatan berkesenian itu sendiri adalah pemenuhan atas tuntutan-tuntutan sosial apa; atau, bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan tertentu telah “memberi arah” kepada kegiatan seni.
Tidak jarang dalam suatu masyarakat tertentu terdapat pengalokasian wewenang khusus kepada suatu golongan masyarakat tertentu untuk menjalankan atau memiliki suatu bentuk ungkapan seni tertentu. Pihak yang mempunyai, atau mendapat, kewenangan khusus itu kebanyakan terkait dengan posisinya yang tinggi dalam suatu sistem pemerintahan, atau kemampuan religious yang istimewa. Terkait dengan status sosial tertentu dari “pemilik” suatu bentuk kesenian, maka sering pula terdapat pembatasan mengenai lokasi dimana suatu sajian seni tertentu dapat dilaksanakan. Suatu survey atas berbagai suku bangsa di indonesia sendiri sudah akan menampilkan contoh-contoh dari keterkaitan antara kedudukan atau golongan sosial dengan bentuk-bentuk seni tertentu.  Ada banyak contoh dimana suatu jenis tarian tertentu hanya boleh ditarikan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan tertentu. Begitu juga banyak jenis busana, atau ragam-ragam hias kain, yang pemakaiannya eksklusif untuk golongan tertentu, baik itu tinggi-rendah, tua-muda, pria-wanita, ataupun gadis- nyonya.
       Dalam masyrakat yang cukup kompleks, dapat pula suatu jenis kesenian tertentu menjadi “milik” atau “tanda pengenal” bagi suatu golongan masyarakat tertentu, tanpa suatu konotasi akan adanya “ hak khusus” seperti halnya pada kepemilikian oleh “penguasa” pemerintahan atau keagamaan. “tanda pengenal” seperti itu mungkin lebih berhubungan dengan jenis pekerjaan (seperti halnya pada ronggeng dan reyog; juga pada bissu), atau ketersediaan bahan (seperti halnya seni kerajinan dengan menggunakan jenis serat dari tanaman tertentu).

Psikologi Humanistik

Psikologi humanistic menekankan kebebasan personal, pilihan, kepekaan, dan tanggung jawab personal. Sebagaimana yang dinyatakan secara tidak langsung oleh tema itu, psikologi humanism juga memfokuskan pada prestasi, motivasi, perasaan, tindakan, dan kebutuhan akan umat manusia. Tujuan pendidikan, menurut orientasi ini adalah aktualisasi diri invidual.
Psikologi humanistic diperoleh dari filsafat humanism, yang berkembang selama renaissance di eropa dan reformasi protestan yang didasarkan pada keyakinan bahwa individu-individu mengontrol nasib mereka sendiri melalui aplikasi kecerdasan dan pembelajaran mereka. Orang-orang “membentuk diri mereka sendiri”. Istilah “humanisme sekuler” merujuk pada keyakinan yang berkaitan secara erat dimana kondisi-kondisi keberadaan manusia berhubungan dengan hakekat manusia dan tindakan manusia bukannya pada takdir atau intervensi tuhan.
Belajar menurut pandangan humanisme merupakan fungsi dari keseluruhan pribadi manusia, yang melibatkan factor intelektual dan emosional, motivasi belajar harus datang dari dalam diri anak itu sendiri. Proses belajar mengajar menekankan pentingnya hubungan interpersonal, menerima siswa sebagai seorang pribadi yang memiliki kemampuan, dan peran guru sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.
Tujuan pendidikan menurut pandangan humanisme diikhtisarkan oleh mary johson (kartadinata, dalam dasar-dasr kependidikan, 1987:77), sebagai berikut :
1.      Kaum humanis berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk meakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran identitas diri yang melibatkan perkembangan konsep diri dan sistem nilai.
2.      Kaum humanis telah mengutamakan komitmen terhadap prinsip pendidikan yang memperhatikan factor perasaan, emosi, motivasi, dan minat siswa akan mempercepat proses belajar yang bermakna dan terintegrasi secara pribadi.
3.      Perhatian kaum humanis lebih terpusat pada isi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa sendiri. Siswa harus memiliki kebebasan dan tanggungjawab untuk memilih dan menentukan apa, kapan dan bagaimana ia belajar.
4.      Kaum humanis berorientasi kepada upaya memelihara perasaan pribadi yang efektif. Suatu gagasan yang menyatakan bahwa siswa dapat mengembalikan arah belajarnya sendiri, mengambil dan memenuhi tanggungjawab secara efektif serta mampu memilih tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
5.      Kaum humanis yakin bahwa belajar adalah pertumbuhan dan perubahan yang berjalan cepat sehingga kebutuhan siswa lebih dari sekedar pengetahuan hari kemarin. Pendidikan humanistic mencoba mengadaptasikan siswa terhadap perubahan-perubahan. Pendidikan melibatkan siswa pada perubahan belajar, bagaimana memecahkan masalah, dan bagaimana melakukan perubahan di dalam kehidupan.

Kesenian Sebagai Sistem

Terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa estetika, yang dengan ungkapan lain dapat dikatakan “teori kesenian”, “ filsafat seni”, atau “ teori keindahan”, adalah bagian saja, meskipun bagian yang teramat penting, dari keseluruhan pranata kesenian, dan pranata tersebutdapat dilihat sebagai suatu keterpaduan  sistemik. Menyimak keanekaragaman susunan masyarakat yang dikenal di dunia ini sepanjang zaman, maka dapat dperkirakan bahwa posisi seni dalam masing-masing masyarakat tersebut dapat berbeda-beda. Ada masyarakat dimana kesenian betul-betul  merupakan suatu pranata ‘mandiri’ sebagai sarana pemenuhan salah satu kebutuhan hidup manusia yang dikenali sebagai suatu ebutuhan tersendiri, sementara dalam masyarakat lain mungkin kesenian adalah sesuatu yang bersifat ‘pendukung’ saja  terhadap pranata tertentu, misalnya pranata agama.
Kajian tentang sistem kesenian, baik sebagai pranata tersendiri maupun sebagai sistem pendukung dalam pranata lain, memerlukan dukungan ilmu dasar antropologi. Konsep-konsep dasar mengenai struktur dan fungsi dalam rangka studi mengenai masyarakat-masyarakat, yang masing-masing ditandai oleh budayanya tersendiri, telah dikembangkan dalam ilmu tersebut. Dalam bahasan mengenai sistem kesenian dapat di rinci unsur-unsur pembentuk sistem tersebut. Apabila sistem kesenian diidentikan dengan pranata kesenian, komponen-komponen pembentuknya adalah :
1.      Perangkat nilai-nilai dan konsep-konsep yang merupakan pengarah bagi keseluruhan kegiatan berkesenian ( baik dalam membuat maupun menikmatinya)
2.      Para pelaku dalam urusan kesenian,  mulai dari seniman perancang, seniman penyaji, pengayom ( dalam arti luas, termasuk “produser”), dan penikmat
3.      Tindakan-tindakan terpola dan terstruktur dalam kaitan dengan seni, seperti kebiasaan berlatih, berkarya, membahas karya seni, ‘publikasi’ karya seni beserta segala persiapannya,dan lain-lain;  dan
4.      Benda-benda yang terkait dengan proses berkesenian, baik yang digunakan sebagai alat maupun dihasilkan sebagai (bagian dari)karya seni.
Masing-masing komponen dari pranata kesenian itu pun dapat dijadikan suatu kajian tersendiri. Kajian estetika pada dasarnya berkenaan dengan komponen pertama, yaitu perangkat nilai dan konsep-konsep pengarah, yang dapat juga dikatakan sebagai komponen inti dalam pranata kesenian. Sumber data mengenai ini dapat berupa teks-teks yang pernah ditulis oleh para pelaku seni yang bersangkutan; dapat pula data mengenai estetika iyu dihimpun dan direkonstruksi atas dasar sejumlah wawancara dengan tokoh-tokoh pelaku seni dalam masyarakat yang dijadikan sasaran kajian. Dalam hal itu perlu  disimak pula adanya perkembangan kaidah, atau lebih tepat perumusan kaidah, dari waktu ke waktu.
Komponen-komponen lain dari panata kesenian itu pun dapat dikaji sebagai suatu subsistem yang utuh, misalnya tentang para pelaku urusan kesenian.  Kajian seperti itu dapat menganalisis peranan dari masing-masing pihak dan bagaimana sifat hubungan-hubungan di antara berbagai golongan tersebut. Komponen ketiga, berupa sistem pola tindakan, dapat dilihat dalam keterkaitannya dengan sistem pelaku. Adapun komponen keempat, yaitu sistem benda-benda, pada dasarnya dapat dilihat kebermaknaannya dalam kaitan dengan komponen pertama, yaitu kaidah-kaidah seni. Benda-benda, yang digunakan maupun dihasilkan, adalah wujud-wujud simbolik yang tak dapat dilepaskan dari konsep-konsep keindahan yang menjadi landasan bagi karya-karya seni.