Pada awal tahun 2000-an pada umumnya
masyarakat Jawa Barat hanya mengenal adanya satu jenis aksara daerah Jawa Barat
yang disebut sebagai Aksara Sunda. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa
setidaknya ada empat jenis aksara yang menyandang nama Aksara Sunda, yaitu :
1. Aksara Sunda Kuna
2. Aksara Sunda Cacarakan
3. Aksara Sunda Pegon
4. Aksara Sunda Baku
Dari empat jenis Aksara Sunda ini,
Aksara Sunda Kuna dan Aksara Sunda Baku dapat disebut serupa tapi tak sama.
Aksara Sunda Baku merupakan modifikasi Aksara Sunda Kuna yang telah disesuaikan
sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda
kontemporer. Modifikasi tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va
dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan
perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).
Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam
bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat
di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang
terdapat di Kabupaten Bekasi.Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan
Aksara Sunda Kuna sudah begitu lama tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan
Mataram Islam ke wilayah Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu
para menak Sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai anutan dan tipe
ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan banyak
para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan ikon-ikon Jawa.
Bahkan VOC pun membuat surat
keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya meliputi Aksara Latin, Aksara
Arab Gundul (Pegon) dan Aksara Jawa (Cacarakan). Keputusan itu ditetapkan pada
tanggal 3 November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa Cirebon yang
menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu
Aksara Sunda Kuno terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi
mengenal aksaranya. Kalaupun masih diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun
1950-an, rupanya salah kaprah. Pasalnya, yang dipelajari saat itu bukanlah
Aksara Sunda Kuna, melainkan Aksara Jawa yang diadopsi dari Mataram dan disebut
dengan Cacarakan.
Aksara Sunda Baku
Setidaknya sejak Abad IV masyarakat
Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan.
Namun demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa
dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan
salah satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa
kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis
masyarakat Sunda.
Pada akhir Abad XIX sampai
pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle
dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti
keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara
Sunda Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad
XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan
identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Propinsi
Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda
No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.
Pada tanggal 21 Oktober 1997
diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan
atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra
Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh
Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor
343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim
tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.
Saat ini Aksara Sunda Baku mulai
diperkenalkan di kepada umum antara lain melalui beberapa acara kebudayaan
daerah yang diadakan di Bandung. Selain itu, Aksara Sunda Baku juga digunakan
pada papan nama Museum Sri Baduga, Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor Dinas
Pariwisata Daerah Kota Bandung. Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah
Daerah Kota Tasikmalaya yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan nama
jalan-jalan utama di kota tersebut.
Namun demikian, setidaknya hingga
akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Barat belum juga mewajibkan para siswa
untuk mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana para siswa tersebut diwajibkan
untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan aksara daerah mungkin
akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara Sunda Baku dipelajari bersamaan
dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung dan Propinsi
Jawa Tengah telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dengan mewajibkan para siswa
Sekolah Dasar yang mempelajari bahasa daerah untuk juga mempelajari aksara
daerah.
Perbandingan antara
Aksara Sunda Baku dan Sunda Kuna
Sebagaimana
diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil
penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda
kontemporer. Penyesuaian itu antara lain didasarkan atas pedoman sebagai
berikut:
1. bentuknya mengacu pada Aksara
Sunda Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga,
2. bentuknya sederhana agar mudah
dituliskan,
3. sistem penulisannya berdasarkan
pemisahan kata demi kata,
4. ejaannya mengacu pada Bahasa
Sunda mutakhir agar mudah dibaca.
Dalam pelaksanaannya, penyesuaian
tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan
huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf
(misalnya huruf na dan ma).
Dalam Sejarah
Aksara Sunda disebut pula aksara
Ngalagena. Menurut catatan sejarah aksara ini telah dipakai oleh orang Sunda
dari abad ke -14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat dilihat pada
Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk
mengenang Prabu Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun
1371-1475. Prasasti Kebantenan yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal
dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda Kuno.
Berikut Prasasti Kawali dengan
aksara Sunda Kuno:
Tak ada bukti yang jelas tentang
awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang Sunda menggunakan
aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak
(naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti
Tugu abad ke-4) dan aksara Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11).
Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14
dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam media batu/prasasti dan naskah
kuno.
Sama seperti naskah-naskah kuno di
Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun (ron) palem tal
(Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga
daun palem nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan
dengan seutas tali, bisa seutas di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi
kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan menorehkan peso pangot, sebuah
pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta melalui pena. Tintanya
dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk
huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.
Naskah-naskah kuno Sunda yang
memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di antaranya Carita
Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad
ke-16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyanganini, di mana di dalamnya
terdapat dua kata Arab, yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran
kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah merasuk pula ke dalam alam bawah sadar
penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga Manik dan Sewaka Darma
yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan perjalanan
spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketikaraga wadag (tubuh)
meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran
antara Hindu, Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli. Judul yang lain adalah
Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian (disebut pula Kropak 603), sebuah naskah
tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada 1518 M. Ada pula naskah
Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy atauNaskah MSA)
yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran moral
dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dariCarita Parahyangan;
hal ini terbukti dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa
(dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo).
Berikut naskah Sewaka Darma.
Naskah-naskah keagamaan tersebut
biasa ditulis di sebuahkabuyutan atau mandala, yakni pusat keagamaan orang
Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat
intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh
darikabuyutan tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.
Setelah islamisasi, keberadaan
aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang mendominasi
dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga
dan penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan
huruf Arab dalam naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada
tahun 1662-1663, di mana Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri.
Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah Kitab Waruga Jagat dari
Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad
ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.
Pemakaian aksara Sunda makin
terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa
kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan
Mataram Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama
mengakibatkan sastra-sastra Sunda lahir dengan memakai aksara Jawa atau
Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah Sunda yang ditulis
menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad Pajajaran
yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa
pemerintahan Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad
ini menggambarkan pola pikir masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya
antara manusia sempurna dengan mandala kekuasaan.
Sistem Aksara Sunda
Aksara Sunda berjumlah 32 buah,
terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan 23 aksara
ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la,
wa-sa-ha, fa-va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan
aksara-aksara baru, yang dipakai untuk mengonversi bunyi aksara Latin. Secara
grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman yang mencolok, hanya
sebagian yang berbentuk bundar.
Aksara swara adalah tulisan yang
melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan sebagai sebuah suku
kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Berikut
tabel aksara swara Sunda:
Sedangkan aksara ngalagenaadalah
tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi fonem konsonan
dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati
posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda
pamaeh agar bunyingalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat
silabik, di mana tulisannya dapat mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut
tabel aksara ngalagenaSunda:
Ada pula para penanda vokal dalam
aksara Sunda, yakni:panghulu (di atas), panyuku (di bawah), pemepet (di
atas),panolong (di kanan), peneleng(di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut
penanda vokal dalam sistem aksara Sunda:
Selain pamaeh konsonan, ada pula
variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng),pangwisad (akhiran –h),
danpanglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di
tengah-tenngah kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan
panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel variasi fonem sisipan dan akhiran beserta
tanda pamaeh dalam aksara Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar