Kajian Filusuf Terhadap Kebenaran
Dalam penerapan cara berpikir empiris, sama halnya dengan rasionalis
dipertanyakan oleh beberapa filusuf, apakah pendekatan empiris akan
membawa kita lebih dekat kepada kebenaran ?, mereka menjawab tidak,
sebab menurut mereka gejala yang terdapat dalam pengalaman kita baru
mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran kepada mereka. Fakta yang
ada sebagai dirinya sendiri, tidaklah mampu berkata apa-apa, Para
ilmuwanlah yang memberikan fakta sebuah arti, apakah itu sebuah nama,
sebuah tempat atau apa saja. Disamping itu, bila kita hanya mengumpulkan
pengetahuan mengenai berbagai gejala yang ditemui dalam pengalaman lalu
apakah gunanya semua kumpulan pengetahuan serba aneka yang tidak
berarti, Lebih jauh lagi mereka mempertanyakan, bagaimanakah cara kita
mendapatkan pengetahuan yang utuh, apakah kita memungut begitu saja
seperti mengumpulkan kerang di pantai. Siapakah yang dapat menjamin
bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu benar, seperti apa yang dikatakan
oleh Charles Darwin dalam Suriasumantri, 1999, bahwa tanpa penafsiran
yang sungguh-sungguh maka alam akan mendustai kita bila dia mampu.
Disini terlihat pula bahwa pendekatan empiris tidak mampu memecahkan
masalah pokok dalam menentukan pengetahuan yang benar.
Atas dasar uraian tersebut, maka para filusuf melontarkan beberapa
kritik terhadap empirisme secara lebih tajam sebagai berikut :
(1). Apakah yang disebut sebagai pengalaman ?. Pengalaman sekali waktu
hanya berarti rangsangan panca indera, lain waktu lagi dia muncul
sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep,
ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan
obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Jika dianalisis
secara kritis, maka pengalaman merupakan pengertian yang terlalu samar
untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
(2). Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada presepsi panca indera
kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas
dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan dimana hal ini
disadari pula oleh kaum empiris. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan
untuk mem-bedakan antara khayalan dan kenyataan.
(3). Empirisme tidak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut
pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian diatas sebenarnya merupakan
pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Berdasarkan uraian tersebut, lalu sekarang timbul pertanyaan, pola pikir
yang bagaimana yang dapat menghasilkan Sains mencapai kebenaran.
Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh kaum rasionalis dan empiris,
setelah telah mengkikis sifat-sifat ekstrim ke duanya. Jawabannya adalah
bahwa mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa berbagai kelebihan dan
kekurangan terdapat pada masing-masing pola pikir. Diatas kesadaran ini
kemudian timbul gagasan dari keduanya untuk menggabungkan kedua
pendekatan tersebut guna menyusun metode yang lebih dapat diandalkan
dalam menemukan pengetahuan yang benar. Akhirnya dilahirkan metode
ketiga yang dikenal dengan nama Metode Keilmuan. Metode ini secara
ringkas merupakan suatu rangkaian prosedur yang tertentu harus diikuti
untuk mendapatkan jawaban yang tertentu dari pengetahuan yang tertentu
pula. Kerangka dasar prosedur ini dapat diuraikan dalam 6 (enam) langkah
yaitu :
(1). Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah,
(2). Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan,
(3). Penyusunan atau klasifikasi data,
(4). Perumusan Hipotesis,
(5). Dedukasi dan Hipotesis, dan
(6). Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis.
Dalam metode keilmuan, rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang
koheran dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian
dalam memastikan suatu kebenaran. Metode ini, oleh banyak ilmuan dunia
dipergunakan secara dinamis guna menghasilkan pengetahuan yang konsisten
dan sistematik serta dapat diandalkan, sebab pengetahuan telah teruji
secara empiris. Dalam metode ini, sikap skeptis merupakan karakteristik
seorang ilmuwan, artinya dia tidak pernah menerima kebenaran suatu
pernyataan sebelum penjelasan mengenai isi pernyataan itu dapat
diterima, dan disaksikan secara empiris konsekuensi kebenaran pernyataan
tersebut.
Dalam metode keilmuan, teori yang telah tersusun pada tahap pendekatan
rasional perlu diuji kebenarannya, dan untuk pengujian ini digunakan
pendekatan empiris. Tahap pengujian sangat diperlukan dalam metode
keilmuan didasarkan pada anggapan bahwa bagaimanapun menyakinkannya
suatu penjelasan teoritis yang diberikan, dia hanya bersifat dugaan
sementara mengenai suatu obyek yang sedang dipermasalahkan. Suatu
penjelasan yang belum teruji secara empiris hanyalah merupakan hipotesis
atau dugaan. Hipotesis ini dibangun dari hubungan konseptual, baik yang
baru disusun atau merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang
telah teruji kebenarannya, yang dipakai menyorot suatu obyek. Tahap ini
merupakan tahap yang paling sulit dari metodologi keilmuan. Hipotesis
ini yang kemudian kita uji kebenarannya secara empiris. Kalau ternyata
pengujian secara empiris tidak mendukung hipotesis yang diajukan, maka
dia dinyatakan benar secara keilmuan, dan bila secara empiris tidak
mendukung, dia dinyatakan tidak benar secara keilmuan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu teori
pengetahuan yang dipergunakan manusia dalam memberikan jawaban tertentu
terhadap suatu pertanyaan. Metode ini menitikberatkan kepada suatu
urutan prosedur yang seksama, dimana diperoleh sekumpulan pengetahuan
yang diperlukan secara terus menerus dan bersifat mengoreksi diri
sendiri. Metode keilmuan mendasarkan diri pada anggapan bahwa terdapat
keteraturan yang dapat ditemukan dalam hubungan antara gejala-gejala dan
bahwa alat panca indera manusia (atau alat yang dibuat secara teliti)
pada dasarnya dapat berfungsi secara layak. Lewat pengorganisasian yang
sistematis dan pengujian pengamatan, manusia telah mampu mengumpulkan
pengetahuan secara kumulatif, walaupun yang terus menerus bertumbuh dan
mempunyai peluang yang besar untuk benar. Kendati demikian, metode
keilmuan tidak mengajukan diri sebagai sebuah metode yang membahayakan
manusia kepada sesuatu kebenaran akhir yang takan pernah berubah.
Kesadaran ini diajukan tentu didasarkan atas beberapa keterbatasan yang
dimiliki oleh metode keilmuan terutama terletak pada asumsi landasan
epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh
pengetahuan yang bertumpuh pada prespsi, ingatan dan penalaran.